Selasa, 16 Desember 2008

TAKBERUJUNG



Teater Delik UNS, saat mementaskan Aduh di Fakultas Sastra Undip Aduh

Kebimbangan Tak Berujung

Oleh : Sony Wibisono
TIDAK jarang niat baik selalu mendapat halangan, bahkan ketulusan hati seringkali menjadi bumerang। Lucunya, batas antara keberanian sikap dan kepengecutan sudah demikian kabur sehingga manusia yang ingin menolong sesamanya pun harus terjerumus dalam kerumitan wacana itu. Begitulah mungkin wacana yang sedang didedahkan Teater Delik Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, melalui naskah
Aduh.

"Lihat ia terluka, pasti orang ini sakit. Ayo lekas kita tolong," ujar salah satu tokoh saat menemui seseorang yang tengah sakit di kampungnya. Kondisi tokoh yang membuka adegan pementasan di Fakultas Sastra Undip, Sabtu (13/12) malam itu memang menyedihkan. Ia terhempas begitu saja dengan luka di sekujur tubuhnya. Namun niat menolong itu tidak begitu saja disetujui para penduduk kampung. "Ah, biar saja. Mungkin dia orang yang dulu lagi, yang berpura-pura sakit biarkan saja dia," sahut tokoh lain. Sedari awal memang sudah sangat tampak konflik enam tokoh tentang kedatangan orang sakit di kampungnya. Tiap tokoh punya pandangan sendiri pada orang yang sakit tersebut. Sebagian merasa iba, lainnya terkesan cuek, juga ada yang ngotot tidak mau bertanggungjawab. Digambarkan dalam naskah, para penghuni kampung memang sering tertipu, orang-orang sepeti itu. Alih-alih menerima simpati pada usaha baik, menolong orang lain justru sering menyalahkan karena mereka gagal menolong. Ya hal itulah, yang membuat mereka semua menjadi bimbang, dan dari situlah muncul permasalahan sebenarnya. Dan pada akhirnya mereka harus bertanggungjawab atas kekalutan dan kebimbangan mereka. Sampai pada akhirnya orang sakit itu mati, mereka pun belum punya ketegasan dan kekompakan sikap untuk mengurusi mayat tanpa identitas itu. Ya, kebimbangan tak berujung itu membuat mereka salah langkah. Inilah tampaknya intisari pertunjukan tersebut Naskah karya Putu Wijaya itu memang sangat cerdas memainkan simbol atas kesemrawutan dan disorientasi masyarakat. Meski disimbolkan dalam lingkup komunitas yang lebih kecil, namun bisa merangkum banyak persoalan. Sayangnya naskah Putu yang penuh dengan simbol, sindiran, dan kritik itu kurang dimaksimalkan Teater Delik. Banyak dialog kritis, sindiran, dan guyonan ironis yang tidak tersampai. Para pemain tampaknya belum siap memasuki medan dialog Putu yang kerap meneror itu. Mungkin masalah itu terasa wajar mengingat pertunjukan yang disutradarai Setiawan Hardiyanto itu dilakoni oleh pemain dengan jam terbang yang masih minim. Satu hal yang membuat pertunjukan Aduh malam itu lebih cantik, adalah dukungan musikalitas yang apik. Rapinya komposisi Volt cs, kemerduan alunan vokal Putri serta ketepatan keluar masuk ilustrasi sangat membantu menyeimbangkan mood

pentas yang berdurasi sekitar 1,5 jam itu.