Jumat, 28 November 2008

markonah

Markonah alias Marsinah

PERJALANAN hidup Marsinah, aktivis buruh yang mati mengenaskan, digarap Teater Buih melalui pertunjukan monolog. Malam itu, Sabtu (5/5), di kampus Fakultas Sastra Undip, meskipun nama Marsinah diganti dengan Markonah, masih dapat dibaca jika apa yang terjadi adalah kisah hidup Marsinah.

Pertunjukan dimulai dengan tampilan demonstrasi buruh melalui siluet. Aksi lalu berubah menjadi kekerasan. Saat siluet menunjukkan klimaks keadaan chaos, muncullah seorang aktris, diperankan oleh Novi Nopek, dari sebuah tong sampah. Sambil tertatih-tatih, ia mulai berdialog menceritakan latar belakangnya, perjuangan sebagai buruh yang menuntut keadilan sampai kematiannya yang tragis.

Ya, memang sangat mirip kalau tidak boleh dibilang sama antara kisah hidup Markonah dengan Marsinah. Sampai peristiwa detail sobeknya kemaluan Marsinah akibat penyiksaan pun diceritakan.

Ikon Perjuangan

Tampaknya Marsinah bagi penulis naskah, Tuti Setyawati, masih menjadi ikon perjuangan aktivis buruh perempuan yang menarik. Meski sepanjang pertunjukan didominasi dialog perih, di sela-sela itu masih diselipkan adegan tari dan menyanyi. Pertunjukkan pun terisi dengan nuansa semi opera.

Sekitar 30 menit Novi membawakan tokoh Markonah dengan baik. Namun rupa-rupanya naskah yang dibawakan kurang memberikan kesempatan eksplorasi panggung bagi aktor.

Belum terlihat penggarapan detail properti dan ruang pertunjukan untuk mendukung gagasan artistiknya. Sehingga Markonah selintas seperti hanya menyajikan keluh kesah Marsinah saja.

Selain menampilkan Monolog Markonah dari Teater Buih, acara peringatan Hari Buruh oleh Teater Emka itu juga menampilkan repertoar dari Among Jiwo, Teater Asa, Serikat Pengamen Indonesia, Teater Emka, serta performance art dari komunitas seni rupa Semarang dan Solo. Diskusi tentang perburuhan semakin menambah hangat suasana. (Sony Wibisono-45)

JADIJADIAN

Indonesia dan Kebudayaan Jadi-jadian

  • Oleh Sony Wibisono

"KEBUDAYAAN adalah sesuatu yang tidak pernah menjadi!" ujar Anis Soleh Baasyin, budayawan dan penyair asal Pati, untuk menegaskan sifat kebudayaan.

Anis, Senin (16/4) malam, didaulat sebagai pembicara dalam "Obrolan Blung" yang dimotori Journalist Institute for Culture di Pojok 86, Karangnongko, Kudus.

Dengan penuh vitalitas Anis berusaha mengajak peserta merumuskan kembali pemahaman kebudayaan masyarakat Indonesia. "Kita seringkali tidak bisa mengidentifikasi diri. Di satu sisi, kita merasa sebagai orang Indonesia. Di sisi lain, kita sebenarnya mengkonsumsi budaya bangsa lain," kata seniman yang akrab dipanggil Habib tersebut.

Lebih lanjut, dia mengatakan masyarakat Indonesia telah dijajah dengan tata nilai barat. Nilai-nilai tersebut merasuk ke berbagai sendi kehidupan dengan halus sehingga tidak pernah disadari.

Ya, mendengar uraian Anis yang berapi-api itu saya jadi teringat tesis David Cheney yang mengatakan bahwa neokapitalisme memberikan pengaruh ideologisnya melalui kebudayaan.

Kenyataan itulah yang sekiranya harus dimengerti karena ia bukan kapitalisme tradisional, yang secara ekstrem bisa diserang kelompok sosialisme dengan perbedaan kelasnya.

Namun ideologi baru itu bersembunyi di balik nilai-nilai kebudayaan massa yang di belakangnya diikuti kepentingan dan keuntungan terhadap komoditas.

Setidaknya realitas masyarakat Indonesia yang seperti itulah yang dikritisi Anis. "Nilai-nilai lokalitas kita memang sudah kalah dengan serbuan pemikiran dari barat. Kenapa kita lebih kenal Derida, Barthes, atau Foucoult? Mengapa Ronggowarsito atau Sosrokartono serasa hilang dari budaya kita?" ujarnya memancing.

Menarik memang mengikuti pembicaraan Anis dengan vokalnya yang serak-serak basah. Sayangnya, diskusi yang digagas oleh anak-muda itu terkesan menjadi ajang obrolan orang-orang tua saja. Entah materi yang disampaikan Anis terlalu berat atau dia tidak sanggup menjembatani pemikiran filosofisnya dalam bingkai yang lebih sederhana.

KERETA KENCANA

Kereta nan Lempang

  • Oleh Sony Wibisono

TEATER Fajar Universitas Muhammadiyah Magelang memainkan Kereta Kencana, saduran WS Rendra dari Les Chaises Eugene Ionesco, di Padepokan Seni Murni Asih (Pasma) Kudus, Rabu (31/10) malam. Mereka bermain di ruang cukup sempit, tetapi tak terhalangi untuk membawakan kisah secara maksimal.

Tata panggung dan kostum ala Barat adalah pertanda mereka berpegang teguh pada pakem naskah. Dua aktor, Yullie Lodhok dan Mbakser, menunjukkan kekompakan dengan tim artistik. Sekitar satu setengah jam pertunjukan berlangsung amat rapi.

Namun ada yang mengganjal. Ternyata materi absurditas masih muncul samar-samar. Meski sudah melalui saduran Rendra, roh absurdisme yang kental dari Ionesco sebagai tokoh eksistensialis masih tertanam dalam naskah itu. Jika Ionesco berpandangan pesimistis karena terpengaruh perang, Rendra menyoroti kedatangan kematian.

Maka, sebenranya istilah absurdisme yang mencuat di Eropa pasca-PD II itu tak boleh disikapi secara main-main. Karena, ia bisa menunjukkan fenomena yang mengejutkan di tengah laku realitas yang sangat wajar, atau sebaliknya.

Seperti analisis Camus tentang absurdisme, misalnya. Dia memulai dengan menunjukkan secara wajar bahwa orang bisa menemukan dan cukup mudah menerima kehidupan sehari-harinya. Namun saat menjalani kehidupan, suatu hari muncul pertanyaan bermakna, semisal "mengapa?".

Itu masih terlihat jelas pada Kereta Kencana. Ya, sikap pesimistis suami-istri atas kehidupan yang memunculkan harapan imajinatif berpadu dengan ketakutan menghadapi kematian.

Kehidupan meluncur apa adanya. Namun setiap kali mereka tercambuk oleh perasaan hidup segan mati tak mau. Mungkin cuma cinta yang membuat mereka tertawa, tersenyum, dan bangga, meski sekadar pada kenangan dan bayang-bayang.

Tidak Mudah

Tak dimungkiri pemahaman naskah itu tak mudah. Namun tak berarti mustahil. Teater Fajar cukup cerdas mengatasi ruang imajinasi dengan penataan cahaya cukup strategis. Meski dengan peralatan sederhana, komunikasi antara setting (jendela dan pintu) dan lampu berhasil menunjukkan suasana lain dalam permainan.

Namun, alur Kereta Kencana, yang disebut realis oleh sutradara M Sugeng realis, berjalan sangat lambat. Kelambatan tempo itu tak menunjukkan strategi apa-apa. Ia lambat karena terpancang pada gambaran ketuaan para tokoh.

Tak ayal, permainan dialog, tempo, dan suasana pun monoton. Adegan imajiner kedua tokoh pesimistis itu -- yang acap muncul dalam naskah -- cuma numpang lewat. Karena, jelas terlihat ada ruang yang belum dimanfaatkan sutradara untuk "menyentuh" para aktor.

Suami-istri berusia dua abad itu malah kerepotan membawa ketuaan mereka dalam permainan. Itulah yang membuat Kereta Kencana berjalan lempang, tanpa kelokan, tanpa kejutan. Mereka memang telah masuk dan bergulat dengan naskah yang dianggap berat di dunia teater itu. Dan, mungkin itulah pergulatan intelektual mereka yang belum lagi usai.