Kereta nan Lempang
- Oleh Sony Wibisono
TEATER Fajar Universitas Muhammadiyah Magelang memainkan Kereta Kencana, saduran WS Rendra dari Les Chaises Eugene Ionesco, di Padepokan Seni Murni Asih (Pasma) Kudus, Rabu (31/10) malam. Mereka bermain di ruang cukup sempit, tetapi tak terhalangi untuk membawakan kisah secara maksimal.
Tata panggung dan kostum ala Barat adalah pertanda mereka berpegang teguh pada pakem naskah. Dua aktor, Yullie Lodhok dan Mbakser, menunjukkan kekompakan dengan tim artistik. Sekitar satu setengah jam pertunjukan berlangsung amat rapi.
Namun ada yang mengganjal. Ternyata materi absurditas masih muncul samar-samar. Meski sudah melalui saduran Rendra, roh absurdisme yang kental dari Ionesco sebagai tokoh eksistensialis masih tertanam dalam naskah itu. Jika Ionesco berpandangan pesimistis karena terpengaruh perang, Rendra menyoroti kedatangan kematian.
Maka, sebenranya istilah absurdisme yang mencuat di Eropa pasca-PD II itu tak boleh disikapi secara main-main. Karena, ia bisa menunjukkan fenomena yang mengejutkan di tengah laku realitas yang sangat wajar, atau sebaliknya.
Seperti analisis Camus tentang absurdisme, misalnya. Dia memulai dengan menunjukkan secara wajar bahwa orang bisa menemukan dan cukup mudah menerima kehidupan sehari-harinya. Namun saat menjalani kehidupan, suatu hari muncul pertanyaan bermakna, semisal "mengapa?".
Itu masih terlihat jelas pada Kereta Kencana. Ya, sikap pesimistis suami-istri atas kehidupan yang memunculkan harapan imajinatif berpadu dengan ketakutan menghadapi kematian.
Kehidupan meluncur apa adanya. Namun setiap kali mereka tercambuk oleh perasaan hidup segan mati tak mau. Mungkin cuma cinta yang membuat mereka tertawa, tersenyum, dan bangga, meski sekadar pada kenangan dan bayang-bayang.
Tidak Mudah
Tak dimungkiri pemahaman naskah itu tak mudah. Namun tak berarti mustahil. Teater Fajar cukup cerdas mengatasi ruang imajinasi dengan penataan cahaya cukup strategis. Meski dengan peralatan sederhana, komunikasi antara setting (jendela dan pintu) dan lampu berhasil menunjukkan suasana lain dalam permainan.
Namun, alur Kereta Kencana, yang disebut realis oleh sutradara M Sugeng realis, berjalan sangat lambat. Kelambatan tempo itu tak menunjukkan strategi apa-apa. Ia lambat karena terpancang pada gambaran ketuaan para tokoh.
Tak ayal, permainan dialog, tempo, dan suasana pun monoton. Adegan imajiner kedua tokoh pesimistis itu -- yang acap muncul dalam naskah -- cuma numpang lewat. Karena, jelas terlihat ada ruang yang belum dimanfaatkan sutradara untuk "menyentuh" para aktor.
Suami-istri berusia dua abad itu malah kerepotan membawa ketuaan mereka dalam permainan. Itulah yang membuat Kereta Kencana berjalan lempang, tanpa kelokan, tanpa kejutan. Mereka memang telah masuk dan bergulat dengan naskah yang dianggap berat di dunia teater itu. Dan, mungkin itulah pergulatan intelektual mereka yang belum lagi usai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar