Senin, 12 Juli 2004
BUDAYA
Ironi dalam Bulan Kabangan
DENGAN ekspresinya yang dingin, Amangkurat menusukkan keris ke dada Trunojoyo. Tubuh tegap itu lalu rubuh bersimbah darah, mengejang, mengerang, dan meregang nyawa. Tokoh dari Madura itu telah mati, dan raja Mataram boleh saja merasa telah memenangkan perang.
Tapi lakon ''Bulan Kabangan'' yang dimainkan Teater Emka, Jumat-Sabtu (9-10/7) malam belum berakhir pada adegan itu. Sony Wibisono, sutradara sekaligus penulis teks lakon yang diadaptasi dari cerpen Bre Redana dengan judul sama, masih banyak memunculkan adegan kebengisan Amangkurat (dimainkan Kustam Ekajalu) terhadap Trunojoyo (Anton).
Lihat misalnya bagaimana sang raja keji itu memerintahkan jasad penuh luka itu dibiarkan di jalanan agar menjadi santapan anjing. Lebih bengis lagi, kepala mayat itu ditumbuk di dalam lesung.
Ada semacam ironi di situ. Amangkurat yang murah senyum nyatanya memiliki tangan yang ''berlumuran darah'' kekejaman. Sebuah kelicikan ala Jawa yang telah dikenal dalam sejarah.
Tak hendak menyederhanakan, lakon ''Bulan Kabangan'', paling tidak pada teks Sony yang diracik dalam bahasa puitis, agaknya memang dipenuhi ironi.
Ironisme lainnya terjumpai pada keyakinan Trunojoyo yang menganggap dirinya trah perwira tapi terpecundangi oleh Amangkurat, orang yang diejeknya bertrah petani. Ia menganggap dirinya pahlawan, tapi sebaliknya, Mataram memberi stempel besar di jidatnya sebagai seorang pemberontak.
Di luar persoalan tematis itu, kemasan Sony cukup memikat. Jawa yang dibicarakan "Bulan Kabangan" seolah-olah memang terepresentasi secara bernas pada simbol-simbol di panggung. Lesung dan alu yang menjadi bagian setting panggung juga alat musik boleh disebut sebagai salah satu contoh simbol paling tipikal.
Adegan demi adegan kekerasan yang tersaji itu memanglah mendedahkan sebuah ironi. Gambaran raja-raja Jawa yang wajahnya senantiasa diliputi senyum itu seolah-olah kalis oleh kekejian dan kebengisan dalam sosok Amangkurat.
Pada lakon serupa itu, selalu ada kesulitan mengidentifikasi manakah sang pahlawan dan manakah sang pecundang. Lantas, masih pentingkah hero dalam kemasan lakon modern seperti garapan Sony itu? (Rukardi, Saroni Asikin-81)
Berita Utama | Ekonomi | Internasional | OlahragaSemarang | Sala | Pantura | Muria | Kedu & DIY | BanyumasBudaya | Wacana | RagamLiputan Pemilu | Cybernews | Berita Kemarin
Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA