Selasa, 26 Agustus 2008

monolog SUjiwo tEjo


Kamis, 24 Januari 2008
बुदाय

Menggugat Kemunafikan Jawa


LAKI-LAKI berambut gondrong itu berdiri memejamkan mata. Saksofon tenor berwarna emas masih ia pegang bak seorang bayi di pelukannya. Sementara itu lagu yang konon terinspirasi dari puisi "Tanah Air Mata" Sutardji Calzoum Bachri menjadi latar belakang keterdiaman itu.
Lagu pun selesai, laki-laki yang selama ini terkenal dengan sebutan dalang edan itu pun mengambil jarak beberapa langkah dari mikrofon yang ada di hadapanya. Lalu sesaat kemudian, alunan improvisasi dari saksofon pun terdengar.
Ya, begitulah Sujiwo Tejo membuka pertunjukannya pada pentas seni Kongres Komunitas Kesenian Indonesia (KSI) di aula gedung DPRD Kudus baru-baru ini. Tejo terus memainkan nada-nada sendu sebelum kemudian ia mengucapkan suluk ala dalang.
Bukan pertunjukan wayang yang akan ia mainkan. Lebih tepat jika ia bermonolog. Tejo yang tampil tunggal menyampaikan cerita percintaan segitiga Rahwana-Shinta-Rama yang selama ini sangat dikenal.
Tapi malam itu mantan wartawan tersebut menyuguhkan versi yang berbeda. Selama ini citra Rahwana merupakan sosok protagonis yang jahat. Sedangkan Rama adalah pahlawan dan kebenaran itu sendiri. Maka ketika Shinta dibawa lari Rahwana, dalam monolog Tejo, bukanlah semata-mata kesalahan Rahwana.
"Maka bukan Rahwana yang jahat tetapi Shinta yang kegatelan!" lantang ia berucap. Sejenak ia berhenti dari keaktoran yang ia lakonkan di panggung kemudian berinteraksi dengn penonton.
"Ini sama saja dengan Gatotkaca yang pada abad XVIII akhirnya dibuat menjadi sosok ksatria yang wajar. Padahal sebenarnya ia adalah raksasa, Orang Jawa seakan-akan malu mengakui jika orang yang berbuat baik itu penampilannya buruk," katanya.
Cinta Dingin
Pertunjukan pun ia lanjutkan. Kali ini ia memerankan Shinta yang sebenarnya kesepian di samping Rama yang rupawan. Ketampanan, kebaikan Rama seakan hampa bagi Shinta karena Rama sebenarnya bukan orang yang romantis. Rama bahkan tidak bisa nembang untuk menghibur Shinta. "Saya tanya, enak nggak ciuman dengan suami yang tidak pernah dibakar cemburu?" kata Tejo kepada penonton. Begitulah kira-kira percintaan Rama Shinta yang terlanjur di-ngin.
Berikutnya Tejo mengetengahkan adegan Rahwana dan Shinta di tempat penculikan. Shinta saat itu menghunus keris dan ia dekatkan dengan perutnya. Jika Rahwana menyentuhnya, ia akan menusukkan keris itu ke tubuhnya sendiri. Dengan begitu ia masih menjaga cintanya kepada Rama.
Namun Rahwana mendekat dan berujar bahwa hal itu tidak perlu dilakukan. Alih-alih akan menodai Shinta, justru Rahwana nembang di depan Shinta. Shinta pun tergetar mendengarnya. Ia membalas tetembangan Rahwana, dan ia merasakan kehangatan cinta di sekujur tubuhnya dan ia pun jatuh dalam pelukan Rahwana.
Disinggung tentang judul monolog di akhir pentas Sujiwo Tejo memang tidak memberikan judul. "Saya hanya ingin menggugat kemunafikan orang Jawa," katanya menjelaskan monolog yang berbau spontanitas itu. (Sony Wibisono-45)
Berita Utama | Ekonomi | Internasional | OlahragaSemarang | Sala | Pantura | Muria | Kedu & DIY | BanyumasBudaya | Wacana Cybernews | Berita Kemarin
Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA
_uacct = "UA-801270-1";
_udn="suaramerdeka.com";
urchinTracker();

Tidak ada komentar: