Selasa, 26 Agustus 2008

perjumpaan di tepi jalan : membaca ruang berada

Senin, 08 Agustus 2005
BUDAYA
Lakon Simbolik Teater Emka
TEATER Emka kembali membuktikan diri sebagai teater kampus yang aktif berkreasi. Setelah tahun lalu mementaskan "Bulan Kabangan", kini mereka memainkan lakon "Perjumpaan di Tepi Jalan: Membaca Ruang Ber-Ada". Pertunjukan tersebut baru-baru ini digelar di Gedung Serbaguna Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang.
Selain tercatat sebagai teater kampus yang rutin menyelenggarakan pentas, Emka juga dikenal sebagai salah satu penghasil pelaku teater.
Dalam pertunjukan kali ini, seorang sutradara baru, Anton Sudibyo, dimunculkan. Dia berhasil menggarap sebuah pertunjukan sarat simbol menjadi sebuah tontonan yang layak dinikmati. Seperti pertunjukan Emka sebelumnya, pentas kali ini juga menyisipkan pesan moral.
Selama 2 jam, Anton mencoba menghadirkan kondisi modernitas dengan percepatan waktu, yang akhirnya merujuk pada pertanyaan tentang identitas. Naskah lakon kali ini merupakan hasil kerja tim naskah Emka yang telah melakukan riset, kalau boleh dibilang begitu, selama kurang lebih 2 bulan.
Menurut asisten sutradara, Sony Wibi, secara konsep dirinya dan Anton memang mau tak mau harus bergulat dengan banyak kendala. Yang utama adalah bagaimana memaparkan naskah, yang secara tak langsung merujuknya pada konsep pertunjukan yang "liar".
Hal itu bisa dilihat di atas panggung, di mana para aktor bisa mewakili tokoh yang jamak. Kadang mereka tampil sebagai pekerja kantor yang diburu waktu, kemudian berubah menjadi seorang yang keberadaannya serba entah (termasuk seksualitas). Lalu, berubah lagi menjadi sepasang muda mudi yang bercinta meski dilarang. Bahkan, sesekali menjadi patung-patung yang bisa berjalan dan berbicara. Di sinilah tampaknya, percepatan waktu dalam zaman modern ini ditampilkan.
Sisi lain, modernitas juga muncul dalam iringan musik yang menghentak layaknya suasana di diskotek, dengan lampu warna-warni. Kendaraan bermotor yang lalu lalang ditampilkan dalam layar, juga telepon genggam yang dikenal sebagai alat komunikasi canggih masa kini.
Hanya Tempelan
Sayang, tengara modernitas yang ingin ditampilkan melalui kota Semarang, kurang bisa ditampilkan secara utuh. Pemunculan nama seperti Pandanaran, Sam Poo, The Hoo dan yang lain terkesan hanya sebagai tempelan.
Adapun soal feminisme, sebagai salah satu penanda era modernisme, sedikit terlupakan. Pada salah satu adegan, di mana aktor laki-laki dan perempuan menyatu dalam sebuah kotak yang bisa digerakkan, tampak aktor lelakilah yang menjadi penggerak. Sementara kaum perempuan hanya mengikuti.
Apakah ini hasil dari teropong Emka bahwa sebenarnya kaum perempuan memang belum berdaya di era modern? Ataukah hanya sebuah tanda yang sebetulnya tak perlu dimaknai, hanya mereka yang tahu.
Selebihnya, sekali lagi, Teater Emka telah membuktikan kiprahnya sebagai salah satu teater kampus di Semarang. Teater tersebut seolah tak lelah menghasilkan generasi demi generasi untuk ikut mewarnai dunia kesenian. Dan, kita harus menghargai mereka, yang secara berani menyebutkan bahwa sejarah panjang kita adalah pertunjukan. (Fahmi Z Mardizansyah-43)
Berita Utama Ekonomi Internasional OlahragaSemarang Sala Pantura Muria Kedu & DIY BanyumasBudaya Wacana RagamCybernews Berita Kemarin
Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA

Tidak ada komentar: